SIASAT PERANG WULAN TUMANGGAL

Siasat Perang Wulan Tumanggal
Siasat Perang Wulan Tumanggal

Siasat perang ini diibaratkan seperti bentuk bulan sabit, dimana seolah-olah wujudnya tidak membahayakan. Tetapi sesungguhnya siasat ini membahayakan karena di ujung sudut dan di tengah barisan selalu siap sedia dengan gerakan yang mudah dilakukan.
Selain dari siasat perang yang digambarkan ini, masih ada pula siasat lain-lainnya, seperti :

  • Jaladri pasang, yaitu samudera yang sedang pasang airnya, dimana gerak-gerik pasukan diibaratkan air laut pasang yang mematikan.
  • Emprit neba, ialah burung emprit yang datang menyerbu serentak di sawah. Oleh karena burung-burung menyerbu dalam jumlah banyak, maka rusaklah tanaman padi yang diibaratkan sebagai musuh.

Ada peribahasa Jawa yang berbunyi: Kinepung wakuI binaya mangap, yang artinja dikelilingi seperti pertemuan bingkai bakul dan seperti bertemu dengan buaya ternganga mulutnya. Berarti bahaya yang tak dapat dihindari.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

SIASAT PERANG DIRADAMETA

Siasat Perang Dirada Meta

Siasat Perang Dirada Meta

Diradameta artinya gajah yang sedang marah. Siasat ini menggambarkan kemarahan seekor gajah. Kemarahan yang mengagumkan (sekaligus mengerikan), belalai dan gading gajah itu sangat membahayakan. Dan kekuatannya pun maha dahsyat.
Siasat perang Diradameta ini digunakan Kurawa dalam perang Baratayudha, dimana Prabu Duryudana bertempat di tengkuk dengan Arja Sindurja (Jayadrata) dan Adipati Awangga, barisan Kurawa membentuk gading, sedangkan Prabu Bagadenta sebagai belalai gajah, dan Dahyang Durna berada di kepala gajah.
Bertempur antara Pandawa dan Kurawa dimisalkan seperti laut beradu gelombang, bergema hingga menjulang ke angkasa, dan menggelisahkan Suralaya, maka para Dewa di Suralaya menurunkan hujan bunga ke medan perang itu untuk penghiburan.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

SIASAT PERANG GILINGAN RATA

Siasat Perang Gilingan Rata

Siasat Perang Gilingan Rata

Siasat perang ini sangat hebat, menyerupai roda kereta yang menggelinding dengan dahsyat sehingga apapun apapun yang tergiling akan hancur lebur. Perang dengan siasat ini harus mengerahkan tentara dengan jumlah besar dan harus mampu bergerak cepat, sebab tujuan siasat ini adalah menggempur kekuatan lawan dengan segera dan habis pada seketika itu juga. Siasat ini memerlukan panglima perang yang ulung, hingga musuh yang ditampuhnya tak dapat melawan. Pemimpin gerakan ini sebagian berada di garis depan dan sebagian lagi berada di garis belakang untuk mengelabuhi musuh.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

BINDI

Bindi

Bindi

Bindi adalah senjata semacam gada juga, tetapi lurus tidak bergerigi. Senjata ini hanya digunakan oleh orang biasa, misalnya punggawa kerajaan. Menurut cara perang dalam pewayangan, senjata bindi tersebut dipergunakan setelah salah seorang yang berperang tanding akan kalah. Untuk kesatria, maka ia akan menggunakan panah, sedangkan untuk punggawa biasa yang bukan kesatria menggunakan senjata pemukul (bindi).

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

GADA RUJAKPOLO DAN ALUGORA

Gada Rujakpolo
Gada Rujakpolo

Gada atau alugora adalah senjata pemukul yang digunakan oleh bangsa kesatria atau bangsawan lainnya. Alugora berarti alu yang besar dan hanya dipergunakan bagi seorang yang gagah seperti Wreku¬dara, ia bersenjata Gada Rujakpolo. Prabu Baladewa ber¬senjata Alugora, hadiah Betara Guru pada waktu Prabu Bala¬dewa kawin. Kekuatan senjata ini adalah dengan sekali pukul dapat hancurlah kepala orang yang dipu¬kulnya, alugora Wrekudara disebut Rujakpolo, yang berarti sebagai merujak polo (otak) orang.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

« Older entries