Galeri Wayang Ramayana

Untuk menambah koleksi wayang yang sudah ada, berikut adalah galeri wayang kulit ramayana.

RADEN DRUSTAJUMENA

Raden Drestajumena

Raden Drestajumena

Raden Drustajumena adalah putera Prabu Drupada di Cempalareja. la seorang kesatria yang gagah berani. Dalam perang Baratayudha ia memenggal kepala Pendeta Durna, untuk memperlihatkan bahwa ia seorang yang berani. Tetapi perbuatan Drustajumena yang sedemikian itu mendapat celaan, dipandang menghina seorang pendeta, guru sekalian Pandawa dan Kurawa.
Drustajumena tewas oleh Aswatama setelah perang Baratayudha berakhir, kepalanya dipenggal selagi tidur, sebagai pembalasan tingkah lakunya kepada Pandita Durna, dan juga sebagai balas pembela seorang anak pada bapanya.
Pendeta Durna dalam pewayangan umumnya dipandang hina, lantara ia berada di pihak Kurawa. Tetapi sebenarnya ia seorang pendeta yang tinggi ilmunya dan juga ditakuti oleh pihak Pandawa dan Kurawa karena ia guru sekalian Pandawa dan Kurawa.

BENTUK WAYANG

Raden Drustajumena bermata jaitan, hidung mancung, agak mendongak. Bersanggul gembel. Berjamang dengan geruda me’mbelakang. Sunting waderan. Berpraba. Berkalung ulur-ulur, bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkain bokongan raton.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

RADEN SETYAKI

Raden Setyaki

Raden Setyaki

Raden Setyaki putera Prabu Setyajid di Lesanpura, ia juga bernama Wresniwira karena merupakan putra Dewi Wresni, dan disebut juga kesatria Lesanpura. Walaupun Setyaki adalah putra mahkota yang akan menggantikan ayahandanya untuk memerintah di Lesanpura, tetapi ia memilih untuk pergi meninggalkan negerinya dan mengikuti iparnya, Prabu Kresna di Dwarawati, yang merupakan seorang titisan Betara Wisnu.
Di negeri Dwarawati Setyaki dianggap sebagai pahlawan, dan karena kesaktiannya, ia mendapat julukan Bimakunting, artinya Sang Bima (Bratasena) yang kerdil.Dalam perang Baratayuhda, Setyaki membinasakan banyak musuh dengan senjata, gadanya. Setyaki lanjut usianya hingga setelah perang Baratayudha.

BENTUK WAYANG

Raden Setyaki bermata kedondongan, hidung dan mulut semada, berkumis. Berkadal-menek, berjamang dengan garuda membelakang. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Berkalung bulan sabit. Kain kerajaan lengkap.
Setyaki berwanda 1 Mimis, 2 Wisuna dan 3 Kakik.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

LIMBUK

limbuk

limbuk

Limbuk adalah anak Cangik, seorang dayang, puteri kerajaan. la berbadan gemuk dan kuat. Lagak lagu Limbuk ini genit dan selalu berhias sebagaimana emaknya. Kegemukan Limbuk ini sering menjadi perumpamaan bagi gadis yang berbadan. dan gemuk. Limbuk dimainkan sebagai lawakan yang jenaka. dan tiap tiap kali dimainkan selalu dalam adegan minta kawin dan lalu dinasihati oleh emaknya supaya mempelajari hal kepandaian wanita lebih dulu. Jalan Limbuk waktu dimainkan diikuti suara gendang, menggambarkan bahwa Limbuk seorang wanita berbadan besar yang, bertingkah laku serba janggal.

BENTUK WAYANG

Limbuk bermata keran, hidung kepik, sanggul gede dikembangi, bersubang besar (Jawa: suweng blong), kain batik slobog dengan berkain dodot.
Limbuk bersuara besar seperti suara laki-laki diikuti dengan keletahnya.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

CANGIK

Cangik

Cangik

Cangik adalah seorang dayang putri kerajaan. Nama ini menurut pada ujud perempuan yang berleher panyang, kepala menjungkur dan berbadan kurus, disebut nyangik, asal dari perkataan cangik. Ia seorang perempuan tua yang ketelah, maka selalu memegang sisir untuk bersisir dan pada waktu dimainkan ia bersisir rambut.

BENTUK WAYANG

Cangik bermata kriyipan, hidung kepik, bibir panyang dibawah, dengan sebuah gigi digerang (dihitamkan), leher panyang, bahu turun (Jawa: brojol), bersanggul gede dikembangi, menggunakan kain batik slobog, badan bagian atas berkain dodot, yaitu kain pakaian perempuan di dalam istana raja, dan menggunakan gelang.

Suara Cangik kecil, melagukan suara orang yang tak bergigi. Pada waktu dimainkan, Cangik akan bertanya pada anaknya, Limbuk, akan kawin dengan laki-laki yang bagaimana macamnya. Biasanya jawaban Limbuk menjadi sindiran untuk anak-anak perawan yang menonton.

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.

« Older entries